Sabtu, 18 Oktober 2008

Ash-Shofia Dayeuhkolot, antara Masjid dan Pasar

Alhamdulillah, hari ini baru saja saya berkesempatan sholat (ashar) untuk pertama kalinya di masjid nan unik ini. Tadinya tidak terpikir sebelumnya akan disempatkan Allah untuk ke sana, karena niat dari awal adalah “bersama istri tercinta makan siang di warung sunda kesukaan kami di jalan Bojongsoang, terus mencari dispenser di pasar Dayeuhkolot”.

Masjid ini diresmikan sekitar tiga bulan lalu oleh Pak Jusuf Kalla, tepatnya tanggal 29 Agustus 2008, dua hari sebelum puasa. Terkenal dengan keunikannya memiliki konsep memadukan pasar dengan masjid, alias ya masjid ya pasar. Maksudnya adalah bahwa gedung dimana masjid ini berada memiliki tiga lantai. Lantai pertama digunakan untuk pasar, yang kebanyakannya menjual baju-baju, lantai dua untuk masjid khusus ikhwan dan lantai tiga untuk akhwatnya. Saya pernah baca di koran bahwa lantai tiga digunakan untuk TPA. Tapi tadi saya lupa membuktikannya, dan yang saya llihat tadi sih cuma ada masjid saja di atasnya. Jelas tidak kelihatan ada anak-anak sekolah TPA mungkin karena ini hari Sabtu atau karena harinya sudah sore.

Katanya pembangunan mesjid ini menghabiskan biaya Rp. 13 Milyar lebih. Kata Ash Shofia kira-kira kami arikan sebagai kelembutan, sedangkan pusat perniagaan diberi nama Raharja Plasa, dimana raharja diambil dari bahasa Sunda berarti kemakmuran atau kesejahteraan.

Untuk masuk ke dalamnya tentu harus menaiki tangga yang telah disediakan. Maklum mungkin karena kondisinya masih baru, jadi masih terkesan serba bersih dan teratur. Ada tempat wudlu yang dibagi dua ruang yaitu untuk akhwat dan ikhwan dengan penjaganya masing-masing, mungkin yang ke toilet atau buang air diwajibkan membayar (biasanya begitu aturan mainnya).

Masuk ke dalam ruang sholatnya sendiri, wah…lumayan juga. Terkesan cukup modern, dengan beberapa asesoris seperti speaker, lampu dan penataan mimbar yang lumayan uptodate. Saya jadi mikir nih, mungkin enak juga kalau tiap masjid besar yang baru selesai dibangun diresmikan oleh pejabat tinggi (negara), pasti akan dipoles dengan sungguh-sungguh. Wah, saya kok jadi rada suudzon gini ya.

Sempat saya sholat berjamaah ashar di sana. Alhamdulillah ya Allah, Engkau sempatkan hamba mencium lantai salah satu masjid indah-Mu ini. Semoga hati hamba Engkau rindukan dengan masjid ini dan masjid-masjid-Mu lainnya. Amin.

Bicara masjid, tentu saya menginginkan bisa menjadi sentra semua kegiatan yang positif, bukan melulu persoalan ibadah saja, tapi juga ekonomi, budaya dan politik serta tentunya pendidikan.

Sudah semakin langka saja tempat terbuka yang dapat dijadikan tempat “bermain dan kumpul-kumpul” para bocah-bocah kecil, remaja dan orang tua. Saya sangat mendukung jika program menjadikan masjid sebagai barang substitusi untuk hal itu, tapi tentu saja “bermain” di sini perlu diluruskan, bukan bermain dalam pengertian bercanda, teriak-teriak, kejar-kejaran. Tapi bermain dalam arti saling mengenal, saling memberi informasi yang bermanfaat dan saling membantu.

Saya termasuk orang yang tidak alergi dengan teriakan anak-anak yang bermain di sela-sela pengajian usai sholat maghrib yang dilakukannya misalnya, walaupun ada sebagian yang menganggapnya perlu diluruskan. Karena masjid tanpa suara anak-anak di dalamnya, terasa hambar. Biarlah mereka belajar mencintai masjidnya, dengan tidak menjadikan masjid terkesan “angker, galak, kaku”. Tentu saja jika berlebihan harus diluruskan juga, tentunya dengan penuh kasih sayang dan mekanisme pendidikan yang modern sesuai jaman namun tetap efektif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar